#tbt 2012

Nama: 
Kelas: XII IPA 2
***
Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera bagi kita semua
Yang saya hormati Bu Wieken
Serta teman XII IPA 2 yang berbahagia
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kita dapat berkumpul di sini Terima kasih kepada Bu Wieken atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya, dan kepada teman-teman yang bersedia menyimak pidato yang akan saya sampaikan.
Sekolah. Tempat kita berkumpul.Lembaga pendidikan formal tempat kita berusaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan).
Sekolah merupakan diorama kehidupan.
Sesungguhnya, yang kita dapat dari sekolah lebih dari yang terdapat pada silabus-silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, atau apapun sebutan bagi kerangka unsur pendidikan itu. Sebagai diorama kehidupan, banyak yang dapat kita pelajari di sekolah.
Belajar menghargai.
Sekolah mengajarkan kita untuk menghargai. Keberagaman murid-murid, misalnya, mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan. Atau yang lebih konkret lagi, praktik berpidato ini. Belajar memberi apresiasi dengan baik, dan menjadi cukup baik untuk diapresiasi orang lain.
Ketika belajar matematika di kelas 10, Bu Indah, guru matematika saya merasa jengah dengan keributan kelas X-H. Beliau berkata, “Kalau tidak mau mendengarkan, silahkan! Tapi diam, jangan berisik! “ Sejak saat itu, saya belajar menghargai dengan lebih baik lagi. Atau paling tidak, ketika tidak ingin menyimak, saya berusaha diam dan tidak mengganggu mereka yang ingin menyimak.
Penggunaan kata simak pada pendahuluan pidato saya bukan tanpa alasan. Saya meminta -secara tidak langsung- untuk tidak sekadar didengarkan, tetapi juga diperhatikan baik-baik. Dengan tidak ribut saat ada yang berbicara di depan kelas -seperti saya sekarang ini- misalnya, merupakan wujud apresiasi sederhana yang bisa kita pelajari di sekolah
Belajar ikhlas.
Sekolah terdiri dari beberapa tingkatan. Ketika baru lulus dari tingkatan menengah pertama, saya merutuk segala hal, terutama salah satu keputusan saya, yang menyebabkan saya bersekolah di sini, sungguh, saya benci sekali harus terlempar ke sekolah ini. Tapi ada titik balik dari kekesalan-kekesalan saya, ketika akan mendaftarkan diri pada lomba debat lingkungan di SMANU MH. Thamrin. Kejadian menarik menyadarkan saya saat itu.
Saya belajar ikhlas. Karena ikhlas berarti menemukan bahwa apa yang diberikan Tuhan adalah baik untuk kita. Hingga akhirnya saya juga belajar banyak hal lain seiring dengan belajar ikhlas. Berkenalan dengan birokrasi, belajar tidak selalu memenangkan ego sendiri, bertemu dengan pribadi-pribadi unik -yang sebelumnya saya cap menyebalkan, padahal tidak kenal.
Dalam pembelajaran ilmu pengetahuan, banyak individu-individu guru yang telah rela berbagi ilmu, dengan kepribadian dan metode mereka masing-masing. Lewat keberagaman itu, saya belajar menghargai dan ikhlas. Beberapa guru membuat saya kembali menggerutu. Tapi dari mereka saya belajar lagi, untuk mencari sudut pandang yang lebih tepat dalam melihat kebaikan mereka. 
Mungkin bukan cara mereka yang salah, mungkin materinya yang memang susah, atau lebih mungkin lagi, saya terlalu pongah, dan memlilih melihat dari sudut pandang yang kurang tepat.
Belajar bermimpi.
“Karena dengan mimpi, kita tetap hidup” sebuah kalimat dari buku Dreamcatcher karya Alanda Kariza.
Dari sekolah, saya belajar bermimpi, tanpa menjadi terlalu idealis dan egois. Dari mimpi-mimpi orang lain yang melibatkan saya, target untuk nilai Ujian Nasional nanti, misalnya, saya belajar merancang mimpi-mimpi, serta mengusahakan agar mimpi tersebut akan saya jalani nanti.
Belajar bermimpi, dengan menyaksikan dan terlibat pada usaha guru mewujudkan mimpinya, memenuhi target yang beliau rancang untuk Ujian Nasional nanti. Padahal tidak semua anak didik beliau sama antusiasnya dalam membantunya mewujudkan mimpi itu.
Belajar memiliki mimpi, dan mengusahakannya. Berada dalam sebuah pagelaran di gedung pertunjukan, membungkuk memberi hormat pada penonton, merupakan salah satu impian saya. Mengusahakannya terjadi dengan mencantumkan ‘Apresiasi Seni’ pada progam kerja tender ekstrakurikuler saya telah saya lakukan. Disertai dengan melaukan berbagai diskusi dengan orang-orang yang nantinya akan dilibatkan, serta membuat rancangan anggaran, bahkan cerita pementasan.
Belajar  menyesuaikan mimpi. Hal-hal yang bisa menghalangi mimpi kita menjadi kenyataan tentu saja ada. Menjadi duta Indonesia dan membawa misi kebudayaan adalah mimpi saya yang  lain, dengan segala penghalangnya. Tahun kemarin saya belum sempat mewujudkannya, meski saya rasa, saya mengusahakannya dengan sangat keras, bahkan kesempatan telah datang. Tapi kembali lagi, saya harus belajar ikhlas. Tahun ini, mungkin bukan saat yang tepat bagi mimpi itu. Tapi saya tetap dengan mimpi saya.

---
Diorama kehidupan tempat kita berada sekarang ini, memberi lebih dari yang disangka. Sekolah bukan sekadar bangunan atau lembaga, lebih dari itu. Semua tergantung sudut pandang yang kita ambil untuk melihat kebaikan dari realita yang ada.
Semoga kita lebih bisa mengapresiasi orang lain, dan terus berusaha agar pantas diapresiasi dengan baik. Semoga keikhlasan menyertai kita setiap datang ke sekolah, dan membawa kita pada kebaikan dari ilmu yang dipelajari. Semoga kita tetap bermimpi, dan menghidupi hidup kita dengan mewujudkan mimpi tersebut.
Terima kasih atas perhatian Bu Wieken dan teman-teman. Semoga pidato saya dapat memberi manfaat bagi kita semua. Maaf bila terdapat kesalahan dalam penyampaian, yang saya sadari maupun tidak.
Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Comments

Popular Posts