Langkah Selanjutnya

Mari kembali pada drama warna, Tuan-Nona, Saya-Kamu. Tentu bukan lagi tentang ketiganya, tapi tentang Tuan yang tidak pernah jatuh cinta. 

Tuan yang tidak pernah jatuh cinta, pernah dikisahkan pada awal tahun ini. Tuan tanpa rasa selain kekaguman terhadap Sang Pencipta. Tuan yang jejaknya hampir tidak ada, selain dari memori hampir satu dekade lalu di kepala Nona. 

Bohong. 

Nona bohong karena tentu lebih dari itu. Lebih dari perkumpulan manusia yang mereka hadiri bersama, yang menjadi memori terakhirnya. Karena Nona mendekap jejak yang hampir tidak berderap. Memaksakan sebagian kecil langkah Tuan yang ada adalah untuknya. 

Bosan. 

Tuan yang tidak pernah jatuh cinta, dikisahkan pernah jatuh suka, tapi bukan pada Nona. Nona ingin bersua, tapi tentu tidak ada alasan, karena Tuan mendekap erat hatinya bukan untuk Nona. Bosan sekali Tuan menolak dengan tidak memberi jawab. Karena tidak ada kabar, adalah kabar, bukan?

Bukan. 

Tidak ada kabar, bukanlah kabar bagi Nona. Tidak ada kabar berarti ada harapan. Tidak ada kabar, berarti Tuan masih ada. Tidak ada kabar, berarti Nona dapat bertanya. Namun, pertanyaan bukan hanya terlontar dari Nona. 

Malu. 

Nona malu karena tentu Tuan punya informan. Tuan mungkin kesepian, tapi Tuan punya informan. Mungkin, Tuan menunggu yang lain. Bisa jadi, tidak ada kabar, adalah kabar: kabar buruk bagi Nona. Tuan tidak bertanya, tapi ia bilang dalam hati ia bertanya-tanya: tidak ada memori selain pesta topeng satu dekade lalu, tidak ada tatap pada temu tak sengaja di tangga, tapi kenapa selalu ada tanya-tanya dari Nona.  

Sehingga, alih-alih ingin bersua, Nona merasa harus mengakhiri semuanya. 

Seperti surat Shaniza yang tidak pernah tersampaikan, lalu ia harus patah hati sendirian. 

Seperti Saya, yang kecewa, lalu Kamu pergi dan bahagia. 

Seperti Sena, yang kini punya kisah lainnya. 

(hue pukpuk Nona, semoga bertemu kembali dengan Tuan dalam keadaan lebih baik, dan bisa berdialog dengan layak: Nona bicara seperlunya, Tuan menjawab tidak dengan diam)