Tentang Fisik

03-10-2017

Hari ini, ada update dari @prin_theth di snapgram, tentang tulisan baru di blognya, berikut tautannya:

http://www.letthebeastin.com/2017/10/insecurity-issue-jerawat.html

wah, ngebaca itu langsung berkaca-kaca, it's an issue I can totally relate. Sampai secara spontan langsung komentar (bahkan sampai ada yang salah tulis), berikut komentar (anonim) saya:

Senang tapi berkaca-kaca membaca ini 
Pas kuliah melewati pengkaderan (dengan mayoritas cowok di jurusan) membuat saya banyak melihat senior-senior ini (cewek maupun cowok) yang suka sekali memperlakukan berbeda karena tampilan fisik yang menarik. Waduh jadi argumen yang baik ternyata bukan segalanya...
Membaca tulisan ini sebagai pengingat, memang Tuhan Maha Adil, kesempatan berobat ke dokter kulit dan mencoba macam-macam skincare bukan hal yang bisa diakses semua rekan seangkatan saya saat itu (yeuh privileged brat). Tapi setidaknya saya tahu, tidak banyak 'noise' saat saya berbicara bukan karena saya berwajah mulus (dan memenuhi standar cantik), namun semata (karena) saya bisa berbicara.
Wah, kalau dianugerahi kulit normal dan tidak acne-prone, mungkin saya sudah jadi manusia paling pongah sedunia. 
Gini, (kalo ada yang baca dan gatau), saya udah ngelewatin pengkaderan yang salah satu isinya adalah temu angkatan, dan salah satu aspek yang dilihat adalah bercengkrama (cailah) dengan senior. Ga sedikit loh yang banyak dikenal senior dan bercengkrama for the sake of being beautiful. Ya Tuhan, saya langsung skeptis sama program pengkaderan ini yang (makin ke sini makin kedengeran jelas) intention anak-anak cowok simply untuk ngejaring adek-adek kelas yang 'cakep.' Sampe saya kepikiran gabakal nikah, dan kebingungan sendiri bagaimana kelak harus ngomong ke orangtua, kok bisa gaada yang mau sama saya ("Saya jelek").

Lalu, hampir tepat tahun lalu, ada gitu yang (menurut geernya saya) nulis tentang saya, dan betapa saya sangat buruk di mata (dan mata hati) penulis. Saya setuju saya penuh perangai buruk apalagi terkait kestabilan emosi. Tapi sungguh, saya tidak pernah berpikir saya cantik, apalagi di angkatan. Kalo diibaratkan, saya mah ugly duckling di angkatan. Sampai saya berpikir, apa baiknya saya, dipandang tak sedap, dibiarkan hidup tak guna. Saya lupa sama sekali dengan 'proses' karena seperti yang saya bilang di atas, kok kayaknya orang-orang ngeliatnya fisik aja.

Saya ada di lingkaran setan, setiap beberapa waktu saya senantiasa menangis atau marah hebat, lalu merasa tidak berharga.

Image may contain: 2 people, people smiling, ocean, sky, icecream and outdoor

Saya senang sekali menyiksa diri dengan menjadi terlalu sedih, dan tujuan saya menulis ini adalah merasa 'whole' dan menerima. I have lived as a short (yet not thin) girl with rather brown skin, which also oily and acne-prone. What has living with acne (and those physical traits) made me become?

1. Lebih insecure


Dulu, sih, dulu jaman SMP, saya ga ngeh sama sekali dengan aspek fisik. Saya cuma peduli main (loh) dan main (loh salah). Sampai beberapa waktu lalu, ada teman kuliah yang melihat foto saya jaman dulu itu, katanya "YAAMPUN KIYYYY ITEM BANGET" pokoknya menggarisbawahi dekil dan hitam dan anak layangan banget saya jaman dulu.


Penulis blog yang (menurut geernya saya) nulis tentang saya pun, bilang saya ga ada cantik-cantiknya kalo di angkatan. Tidak ada yang bilang hitam itu jelek, tapi kulit saya kusam, berjerawat pula. Pikiran saya sangat negatif, toksik sekali dan sepertinya berpengaruh pada kemunculan jerawat di muka saya. Lalu muka saya semakin muram dan tidak sedap dipandang. Saya yang penuh cela, plus ompong (which only God knows why) mah toksik sekali di antara jelitanya cewek angkatan.

Hal-hal ini membuat saya senantiasa merasa minder, kadang saya gamau ikut jalan karena saya merasa tidak pantas jalan-jalan, muka saya tidak menyejukkan yang melihat. Tubuh saya terlalu gemuk dan menyulitkan penumpang lainnya duduk nyaman di angkot.

Kerap kali saya merasa tidak pantas, karena muka saya tidak cantik. Karena tinggi badan saya tidak semampai. Karena jerawat saya senantiasa ada. Kadang, karena bibir saya tebal, saya merasa ingin mengulum senyum saja dan tidak berkata apa-apa.

2. Sulit menerima pencapaian

Mengutip Mbak Laila,
Apa sih yang lebih gawat dari acne scarConfidence scar, alias krisis percaya diri.  
Pada dasarnya, gue adalah orang yang anxious berat, alias gampang cemas. Ditambah hidup puluhan tahun bersama jerawat, ya kelar, deh. Rasa percaya diri gue jadi serapuh sepatu kaca Cinderella dan nggak bisa diperbaiki dengan Rexona sebanyak apapun. 
(kalo kata debaters ITB) "Hear, hear!" Pun tanpa jerawat, saya bukan orang dengan prestasi segunung, maupun pekerja keras yang bisa ga peduli omongan orang. Jadi saat mencapai sesuatu, saya melihatnya sebagai hal yang lebih dari saya. Tapi biasanya hal ini tidak bertahan lama.

Kembali ke hidup di jurusan, saya banyak mendengar maklumnya orang-orang dengan berbagai hal, hanya karena kenampakan fisik. Misal, ada yang perlu waktu lama mencerna suatu hal, ada saja celetukan "Untung cantik!"

Lalu saya dengan dangkalnya berpikir: "Saya tidak boleh bodoh, lemot (or you name it) karena saya tidak cantik"

Kadang ini menyenangkan, saya jadi termotivasi mencapai suatu hal yang lebih karena saya tidak bisa mencapainya dengan kenampakan fisik saya. Tapi...

3. Merasa cukup

Jika saya sedang dalam titik terendah atau dipengaruhi hormon saat PMS, saya bisa merasa cukup dengan menjadi ugly duckling.


Tentu wajar ya melihat segala sesuatu dari kenampakannya terlebih dahulu, yang tidak wajar kalau menjadikan itu bilangan pengali saat menilai. Misal, R cantik, lalu dia rajin. Anggap setiap kelebihan itu bernilai 5, operasi hitungnya harusnya 5 + 5 = 10, begitu, kan? Tapi, kerap kali saya menemukan yang menjadikan cantik sebagai faktor pengali, sehingga 5 x 5 = 25.


Akibatnya, saya juga kerap kali merasa cukup. Tidak harus bisa apa-apa, karena itu tidak akan berharga mahal. Tidak harus menjadi bermakna, karena operasi hitung saya akan begitu-gitu saja. Biasanya, hal ini berlanjut menjadi pembenaran keburukan. Bahaya sekali saya ini.

Tidak ingin terlalu lama berkubung dalam pity party, saya harus menulis hal-hal lain

4. Mendekat

Kadang saya merasa hilang arah dengan segala pikiran negatif pada poin-poin di atas, dan memilih sibuk dengan hal lain.


Dulu, saya merasa cantik setiap habis lari-lari atau olahraga. Ga cantik sih, ngerasa pikiran-pikiran negatif ikut keluar dan jadi lebih positif aja. Jadi dulu saya lari aja gitu sendiri, habis kuliah (TPB) juga gerimis-gerimis mah tetep lari. Main basket biarpun gabisa juga saya ngikut aja ngejar lari-lari.

Sama juga kayak puasa. Selain karena wajib ngeganti, saya ngerasa ga ada ruginya, malah bisa berhemat. Kalau puasa, saya merasa superior (LOH SALAH DONG) saya merasa menjadi pribadi muslim yang lebih taat karena menyegerakan kewajibannya membayar hutang, therefore making me feel like I matter. 

Dengan mengerjakan hal yang berbeda, saya merasa lebih berharga, lebih dari sekadar fisik saya. Saya bersyukur sekali mengenal N dan C, teman SMA saya yang rajin salat sunnah Dhuha, serta teman kamar asrama yang kerap mengerjakan ibadah sunnah. Jadi dulu, saya mendekat untuk tetap terjaga dari pikiran saya yang sangat abusive jika luang.


(untuk diingat ini pakai kata dulu karena saya gamau riya sekarang rasanya saya sangat jauh, dan mungkin ini penyebab saya lebih banyak bergulat pada tiga poin pertama)

5. Menjadi lebih berani

Kalau saya sangat berani dan 'bodo amat'-an, rasanya banyak sekali yang ingin saya kutip dari tulisan Mbak Laila. Termasuk salah satunya adalah tentang menjadi berani.

Gue ngerti, mengeluh panjang-lebar soal jerawat adalah kelakuan privileged brat. Kenapa, sih, harus ngeluh sampai 2,000 kata begini? Seenggaknya lo masih sehat walafiat, La. Kalau mau ngeluh soal wajah, ingat-ingat Novel Baswedan, deh. 
Paham banget. Meskipun begitu, nggak bisa disangkal juga bahwa jerawatan itu nggak enak. I mean, c’mon. Literally the first thing people see on you is your face. Bukan kaki, apalagi kepribadian dan inner beauty. Jadi punya “cacat” di muka, tuh, bisa menghantam rasa percaya diri.
Alhasil, harus hidup dengan jerawat, tuh, menempa keberanian juga, lho. Gue harus bisa melawan malu dan rasa kepengen ngumpet di depan umum.
Kadang, menjadi berani menjadi sama dengan menjadi tidak peduli. Saya jadi tidak peduli pada penampilan saya saat keluar rumah, lalu kembali ke rumah dengan penyesalan, kemudian menjadi kontraproduktif. Saya memang pribadi penuh alasan.

Comments

Popular Posts