Looking Back: On 2016

Bismillahirrahmanirrahim

Meski tanpa pikir panjang, saya rasa saya harus menyelesaikan tulisan ini, mengenai kilas balik setahun ke belakang. Ya, sudah terlalu basi memang, tapi tahun ini, banyak sekali cerita. Banyak sekali rasa.

Tahun akademik biasa berakhir pada pekan kedua Januari, menyulitkan saya memilah memori sebagai bagian dari tahun yang berbeda. Awal tahun selama di Bogor, biasa saya lewati dengan banyak mengenang enam bulan sebelumnya. Apa selama ini usaha saya cukup? Bagaimana nilai yang tertera? Siapa saya dibanding satu kelas? Saya orang yang sangat berorientasi pada nilai dan IPK. Truth be told, menurut saya pribadi, hal tersebut cukup menjadi pegangan teguh saya, terhadap tingkat kepercayaan diri. Untuk beberapa mata kuliah, saya murni mencari nilai dan bukan pemahaman terhadap yang diajari. Saya butuh bertanggung jawab pada pundi-pundi yang ditukar dengan waktu kuliah saya di sini, dan saya rasa IPK cukup representatif.

Semester 5 dengan nilai yang cukup membuat saya meringis. Membicarakan Januari berarti mengenang satu semester sebelumnya, semester pertama saya tinggal di Dramaga Regency, menjadi asisten praktikum, mengambil SC yang malah menurunkan IPK saya secara drastis, mengurus anak orang, mendapat durian runtuh: terbang di kursi kelas bisnis. Januari dipenuhi dengan UAS, serta beragam urusan terkait kaderisasi, namun harus pergi tepat saat h-puncak, karena tiket perjalanan yang sudah dipesan.



Entah kali ke berapa saya mengulang tanggal lahir saya di luar daerah, tapi perjalanan ini adalah yang pertama bagi kami berdua, saya dan adik saya. Kami pergi ke Korea Selatan, sepenuhnya dibayari oleh Umi dan Abi, meski tanpa uang jajan dan uang makan. Saya ingat harus mengisi KRS di kamar hotel, pertama kali mengunjungi penjara seumur hidup saya, sholat di masjid raya (dan bertemu debaters dari Indonesia), dan tidak berinteraksi dengan banyak orang karena language barrier. Kenampakan fisik saya yang jauh berbeda sungguh membuat minder, tapi sungguh, saya masih bisa memilih tidak peduli sama sekali saat itu.

Hari-hari berikutnya di bulan Februari saya habiskan dengan menjadi benalu dalam divisi PSDM. Tidak banyak berpartisipasi dalam persiapan menuju Porikan dan FMAC, kompetisi olahraga dan seni di fakultas yang gengsinya sungguh menggila. Kami, tim tari, ngebut latihan selama 2 minggu, diiringi dengan emotional swing saya yang tak terhitung jumlahnya, dengan pencarian jasa make-up, petualangan ke Taman Mini, dan mencerna potongan-potongan gerakan pada video yang tersedia dalam jaringan. Oiya, saya memilih tidak daftar menjadi asisten praktikum Biologi Laut, but more on being an assistant later. Pulang latihan tengah malam, serupa dengan tim perkusi kami, dan begitu lah saya akan menggantung kalimat ini.

Saya senang sekali kami bisa menambah perolehan medali FMAC, meskipun saya tidak banyak berkontribusi. Saya senang masih mau mencoba bermain basket meski saya paling hina di tim basket putri. Saya senang masih bisa menjaga kepercayaan menjadi pelari keempat dan dapat emas. Saya senang, dan bangga, bersama PSDM, Himiteka berhasil menjadi juara umum Porikan lagi tahun ini, menjadi highlight Maretku. Fieldtrip terpadu kembali harus dilaksanakan, dan saya ingin sekali ikut berkontribusi, dengan mencalonkan diri menjadi bendahara (yang masih saya tanyakan dalam hati sampai saat ini, kenapa saya ingin berkontribusi).



Kembali ke akhir 2015, saya bertamasya wajib ke tempat Abi. Tiket dibeli secara sangat dadakan, dan tanpa tiket pulang. Nina dan saya pergi mendadak, menunggu tanggal sidang osekim saya keluar, dan ternyata, umi abi memutuskan bahwa kami harus pergi, tanggal 27. Perintah (dan tiket) kami terima tanggal 26 Desember dini hari, sedangkan penerbangan kami pukul 27 dini hari. Seolah tidak cukup mengejutkan, di boarding room, saya mendapat e-mail dari IMarEST, bahwa terdapat tawaran untuk berpartisipasi pada konferensi yang diadakan IMarEST. Saya langsung membalasnya dan ternyata, tanpa saya kira sebelumnya, saya bisa ikut. Cutting the story short, saya mendapat dana hibah sebesar 18 juta, setelah segala proses pembuatan surat motivasi. Bahkan beberapa orang yang tahu keberangkatan saya, adalah orang yang sampai akhir 2016 nanti, masih saja berperan banyak di hidup saya. 



Awal April merupakan pekan terakhir UTS, dan jadwal sudah habis, sebagian dari kami melakukan survei ke lokasi fieldtrip. Saya ingin sekali mencoba ikut, Alhamdulillah cita-cita itu tercapai. saya sedang berhalangan, dan ternyata, semua yang ikut adalah cowok, termasuk Bang Tri dan Bang Kasman. Meski semuanya tidak sesuai rencana, tapi paling tidak, baru kali itu saya menunggu di Kaliadem selama 12 jam, naik perahu kapasitas sangat kecil pada malam hari, lalu saya tidak pandai menakar air untuk kopi. 

Akhir April, saya berangkat dengan persiapan seadanya, termasuk konflik internal, dan segala hal yang seharusnya bisa saya hindari. Seperti perjalanan sebelumnya, umi abi mengakomodasi penginapan dan keperluan lainnya. Ternyata, harga yang harus dibayarkan adalah sebesar 15 juta, sulit sekali melakukan transaksi ke luar negeri, sehingga saya kembali merepotkan umi abi. Selain itu, KTM saya rusak h-2 keberangkatan, padahal saya tentu butuh itu sebagai cadangan. Segala petualangan dimulai dengan mengurus surat izin tidak masuk kuliah, keberangkatan dari Dramaga, dan merepotkan orang yang sama dari awal tahun. Perjalanan tersebut mengajarkan pentingnya memanfaatkan peluang, menjaga ibadah, tapi yang paling saya suka, saya belajar berbisnis, dengan menawarkan jasa titip barang. Saya menerima titipan barang, semata-mata memuaskan hasrat berbelanja, tanpa harus mengeluarkan uang saya sendiri. 

Seminggu setelahnya, fieldtrip terpadu dilaksanakan. anak cowok tidur di aula milik sudin, anak cewek tidur di mess milik TNKS. Akhirnya, saya punya situasi yang tepat untuk  menggambarkan idiom crammed like sardines in a can. Kami menginap selama 4 hari 3 malam, dan beban terberat dari segalanya adalah presentasi hasil sementara setiap malamnya. Di luar itu, beberapa dari kami masih harus mengurus kapal pulang, dan pembayaran. Pada malam kedua, ternyata saya berhalangan. Mei menjadi bulan yang mengesankan dengan berbagai kejadian terkait fieldtrip. Setelah itu, ada shifting yang sudah saya sangka, tapi tidak pernah saya nyana akan benar nyata. 




Satu hari di bulan Juni, saya memaksakan (lagi) sebuah perjalanan. Salah satu kegiatan rutin dari Sanglimaz adaah penukaran poin nilai rapor. Hadiah yang diberikan adalah alat tulis dan berbagai peralatan sekolah. Pembelian hadiah tersebut tentu harus dengan harga yang wajar, tidak mungkin membelinya di Gramedia, tujuan kami dari dulu adalah Asemka, atau paling mentok, Inter Media. Saya tahu, beberapa teman saya suka dengan kegiatan semacam ini, tapi di antara semua yang saya ajak, hanya satu yang jadwalnya kosong. Kami berdua tidak tahu bahwa kami akan pergi berdua, sampai kami tiba di Stasiun Bogor, karena konfirmasi dari yang lain sungguh lama. Perjalanan kami lewati dengan tidur serta duduk terpisah ketika kembali ke Bogor. Saya senang dengan perjalanan ke Asemka di hari Jumat, saya melihat perubahan tampilan laki-laki untuk salat Jumat. Saya tahu dia risih, saya juga, kenapa perjalanan ini pada akhirnya hanya dijalani berdua (sehingga sampai saat ini semuanya saya ceritakan hanya pada Sanglimaz dan Cindy). Asemka tidak pernah tidak menyenangkan, meski berdua sungguh bukan hal yang diinginkan.

Ramadhan datang, Menyegerakan Berbuka On The Road kembali harus dilaksanakan. Tarawih saya bolong, ketika rencana pulang berganti dengan nonton Conjuring 2. Saya berhadapan kembali dengan segala cerita tentang orang yang banyak membantu saya. Saya menyelesaikan MBOTR di Dramaga (yang gagal), menonton film horror setelah sekian lama, melakukan perjalanan jauh, mengejar sponsor hingga ke Jakarta Utara, dan memotong spons. 



Keputusan untuk pulang kampung dengan itinerary yang sangat mendadak menjadi highlight Juli. Setelah mudik, saya harus mengurus rekening yang bahkan bukan milik saya, kembali ke Bogor mengambil kamera, menonton Sabtu Bersama Bapak dengan orang yang tidak saya kenal (dan menunda pulang ke Depok), tersesat hingga ke Kalisari, lalu pulang dan bersiap-siap untuk ke Situbondo.

Situbondo butuh lebih dari berlembar-lembar halaman majalah untuk diceritakan. Saya menyempatkan menulis hari-hari awal kami di blog yang harus kami buat. Di sela-sela segalanya, saya juga menyempatkan diri belajar menjadi pengajar Bahasa Inggris, serta merasakan kalut yang membuat saya carut marut. Juli dan Agustus di Situbondo memenuhi memori saya, harfiah maupun kiasan: dengan petualangan ke pantai dan daerah tanpa sinyal, semua sepadan manisnya pengalaman. Perjalanan enam jam ke Surabaya saya potong menjadi dua, dengan singgah terlebih dahulu ke Probolinggo bersama Muti Besar. Kami singgah di hotel tanpa AC, mampir melihat batik dan keris sakti, kemudian ke Surabaya dan akhirnya mencoba Libby Brownies. Perjalanan tidak selesai sampai situ, seminggu setelahnya, saya bertolak (lagi) ke Kepulauan Seribu untuk Ekspedisi. 


September dipenuhi dengan penolakan. Saya belajar menerima penolakan sebagai perlindungan Allah dari hal yang tidak seharusnya, dari hal yang mungkin lebih banyak mudharatnya. Saya tidak diterima Osekim dan Osefis, saya bersedih hingga membakar saya untuk mencoba berbagai kesempatan lain, hingga saya menyibukkan diri dengan Osum, Ekolatrop, dan Akuskel. Dies Natalis semakin dekat dan persiapan semakin menyibukkan.

Saya kembali menyulitkan semua orang dengan emotional swing saya. Oktober menjadi bulan yang sensasional dan penuh tantangan. Meski begitu, h-1 DN merupakan highlight segalanya. Saya berolahraga, kalah cepat, bertualang ke TMII, berdialog tentang pernikahan, makan pecel pinggir jalan, mati listrik di McD, hingga tidur di perjalanan naik motor. Ya, lucu sekali, dan supporting role dari banyak sekali peristiwa yang saya ingat, kebanyakan adalah orang yang sama. Sanglimaz dan beberapa orang dari ITK50. Saya mengalami breakdown sejak pertengahan Oktober, hingga beberapa kali, hingga awal tahun 2017, saya merasa begitu sendiri.



Menyibukkan diri hingga petang lewat meski malam belum larut, menjadi pilihan saya untuk menghindari self blame dan overthinking (which ALWAYS lead me to negative thoughts). Saya tidak ingat banyak hal dari November, sepertinya karena saya memilih pura-pura sibuk dan mengurangi interaksi. Gigi dewasa saya tumbuh, tepat sebelum berangkat fieldtrip 51. Saya mengajar les privat bahasa inggris, dan di tengah pertumbuhan gigi yang menyakitkan itu, saya mampu berpuasa dan mengontrol diri, sambil menunggu maghrib dengan mengajar. Suatu pencapaian. 

Desember kembali menjadi bulan penuh mourning bagi saya. Perubahan yang saya inginkan adalah adanya perbedaan pandangan dan omongan orang-orang mengenai saya. Ternyata saya tetap anak kecil cerewet yang kerjanya menyuap. Saya pura-pura sibuk, mencari bis, mengirim surat ke PPPGL, tanpa menagih uang karena saya tidak mau dibilang bawel. Ternyata tetap salah. Biaya bis membengkak hingga 16 juta di tengah-tengah hebohnya Moana dan Marine Cup, hingga akhirnya saya dapat bis dan perubahan jadwal dua hari sebelum keberangkatan. Saya makan hati, saya mual hingga makan gaji buta di fieldtrip osum, saya menghabiskan akhir 2016 mengubah segala capaian di awal seperti tidak ada artinya. 

I still continuously let myself cry a lot and die a little inside, every now and then. And when people turn to me, I would constantly say "I am okay, it's just...stuffs"

Beberapa detil tidak saya tuliskan karena semuanya menjadi terlalu panjang dan bahkan saya malas membacanya. Sebagai pennutup, saya rasa perlu ada penghargaan untuk beberapa orang (you know who you are):

my financial and emotional support (Purnamas), one who take me to and from bus terminal in Singapore Trip, one who accompany me to Asemka and TMII, those girls who listen. 

Mengutip HIMYM, saya masih butuh waktu untuk mewujudkan yang seharusnya. 

"Sometimes things have to fall apart to make way for better things"

Comments

Popular Posts